RUWA JURAI- Bandar Lampung kembali diguncang isu panas di sektor pendidikan. Kali ini, sorotan publik tertuju pada SMA Siger, sekolah swasta yang disebut lahir dari kebijakan kontroversial “The Killer Policy”. Skandal ini menyeret dugaan penyalahgunaan aset daerah, kebocoran dana APBD Kota, hingga ancaman penelantaran hak ribuan anak didik.
Pakar kebijakan publik, Abdullah Sani, dengan tegas menyebut kasus ini sebagai bentuk pelanggaran tata kelola pemerintahan. “Ini jelas penyalahgunaan kewenangan. Pemerintah Kota tidak berhak menunjuk kepala sekolah SMA karena itu kewenangan penuh Pemerintah Provinsi Lampung,” ujar Sani.
Aset Kota Dikuasai SMA Ilegal
Keberadaan SMA Siger makin dipertanyakan setelah terungkap bahwa fasilitas Pemkot seperti SMP Negeri 44 dan SMP Negeri 38 digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar. Padahal, sesuai aturan, aset kota hanya boleh dialokasikan untuk pendidikan dasar dan PAUD.
“Kalau aset kota dialihfungsikan untuk SMA, itu bentuk penyalahgunaan fasilitas publik. Ini pelanggaran serius,” tambah Sani.
APBD Kota Diduga Jadi Bahan Bakar
Lebih mengejutkan, muncul dugaan dana APBD Kota Bandar Lampung turut mengalir untuk membiayai SMA Siger. Anggaran kota yang seharusnya dipakai untuk pendidikan dasar, justru diduga dipakai untuk membayar honor guru, Plh kepala sekolah, hingga operasional sekolah, termasuk listrik, meja, kursi, papan tulis, sampai spidol.
“APBD Kota tidak boleh dipakai untuk SMA. Itu urusan provinsi. Jika benar, maka ini jelas penyelewengan anggaran,” tegas Sani.
Sekolah Tanpa Izin, Siswa Jadi Korban
Fakta lain yang mencuat adalah ketiadaan izin resmi SMA Siger. Kondisi ini membuat nasib para siswa berada di ujung tanduk. Tanpa legalitas, ijazah mereka berisiko tidak sah, dan keberlanjutan pendidikan pun terancam.
“Ini bukan hanya pelanggaran administrasi. Anak-anak bisa telantar secara hukum dan akademik bila sekolah ini terus dibiarkan tanpa izin,” kata Sani mengingatkan.
Desakan Hukum: Polda Lampung Diminta Turun Tangan
Abdullah Sani mendesak Polda Lampung segera memeriksa praktik ilegal ini. Menurutnya, pendirian sekolah tanpa izin melanggar Pasal 71 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Polda Lampung harus bergerak cepat. Jangan sampai mafia pendidikan merusak masa depan generasi muda. Negara tidak boleh kalah,” ujarnya lantang.
Gelombang Tuntutan Publik
Kasus SMA Siger kini menjadi bola panas. Tuntutan publik semakin keras:
Inspektorat diminta memanggil Plh Kepala Sekolah dan Ketua Yayasan SMA Siger.
Kejati Lampung didesak menyelidiki dugaan penyelewengan APBD Kota.
Komisi Perlindungan Anak harus segera turun tangan menyelamatkan hak-hak siswa.
Polda Lampung diminta memproses hukum pendirian sekolah tanpa izin.
SMA Siger kini berdiri di atas pusaran skandal besar yang mempertaruhkan tata kelola pemerintahan, keuangan daerah, dan masa depan pendidikan di Lampung.
Pertanyaan besar pun muncul: beranikah aparat menuntaskan kasus ini hingga ke akar, atau lagi-lagi publik hanya akan disuguhi drama tanpa akhir dalam ironi panjang pendidikan di negeri ini?***


