RUWA JURAI– Polemik SMA Swasta Siger yang dibangun oleh Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, kini memanas dan menjadi sorotan publik. Lembaga pendidikan yang dijuluki “The Killer Policy” ini diduga beroperasi tanpa izin resmi, menimbulkan pertanyaan besar mengenai peran pemerintah daerah maupun pusat dalam mengawasi sektor pendidikan.
Sejauh ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung belum melakukan pengecekan meski keberadaan SMA Siger telah diketahui. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas pengawasan dan komitmen pemerintah provinsi dalam memastikan sekolah beroperasi sesuai aturan. Tidak hanya itu, ratusan kepala sekolah swasta yang melaporkan masalah ini ke DPRD Provinsi Lampung juga tidak mendapatkan tindak lanjut. Padahal, laporan tersebut disampaikan beberapa hari menjelang penerimaan murid baru di SMA Siger yang akan menggunakan anggaran APBD Pemkot Bandar Lampung.
DPRD Kota Bandar Lampung pun terlihat memberikan “karpet merah” bagi penyelenggaraan ilegal ini. Mereka dinilai abai terhadap prosedur dan regulasi yang mengatur alih anggaran untuk sekolah swasta tersebut, sekaligus mengabaikan nasib ratusan remaja pra-sejahtera yang terancam kehilangan hak pendidikan yang layak.
Ahli pendidikan menilai pemerintah pusat, khususnya Kemendikbud, wajib turun tangan. Kementerian harus mengecek langsung aktivitas SMA Siger, memastikan keabsahan operasionalnya, dan menjamin masa depan murid yang sudah terlanjur terdaftar. Tanpa pengawasan ketat, potensi penyalahgunaan anggaran dan pelanggaran hak pendidikan akan semakin tinggi.
SMA Swasta Siger sendiri hingga saat ini belum memiliki izin resmi dan terancam tidak memperoleh izin. Berdasarkan keterangan staf pelayanan Disdikbud Provinsi Lampung, Danny Waluyo Jati, tanggal 8 Oktober 2025, salah satu syarat utama memperoleh izin adalah kepemilikan aset berupa tanah dan bangunan. Namun, SMA Siger belum memiliki aset tersebut karena rencana Wali Kota Eva Dwiana untuk mengalihfungsikan Terminal Panjang sebagai gedung sekolah masih kontroversial. Terminal Panjang merupakan aset pemerintah, bukan milik yayasan pendidikan, sehingga hal ini menimbulkan risiko hukum dan operasional yang serius.
Saat ini, kegiatan belajar mengajar SMA Siger dipindahkan ke SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Kota Bandar Lampung karena tidak memiliki gedung sendiri. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua dan masyarakat mengenai kualitas pendidikan, fasilitas yang memadai, serta keamanan dan kenyamanan siswa.
Jika dalam waktu dekat perizinan untuk sekolah ini diberikan, keabsahannya tetap patut dipertanyakan. Tanpa pemenuhan syarat dasar dan pengawasan ketat dari pemerintah, keberadaan SMA Siger berpotensi menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pendidikan swasta di Lampung. Masyarakat kini menunggu langkah tegas dari Presiden Prabowo Subianto dan Kemendikbud untuk memastikan hak pendidikan anak-anak tidak terganggu oleh praktik operasional sekolah ilegal.***


