RUWA JURAI– Publik Lampung kembali digegerkan dengan kasus SMA swasta Siger, yang dikenal luas dengan julukan The Killer Policy. Sekolah yang digagas Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, ini menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran aturan perizinan dan praktik administrasi yang bermasalah, memunculkan pertanyaan serius mengenai etika penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah.
SMA Siger muncul di tengah kontroversi, karena penerbitan izinnya seharusnya berada di bawah wewenang Pemerintah Provinsi Lampung, sebagaimana tertuang dalam Perda Nomor 9 Tahun 2016. Namun, praktiknya menunjukkan adanya peran aktif pemerintah kota dan DPRD Bandar Lampung, yang “mengambil alih” kewenangan provinsi. Padahal, DPRD Provinsi Lampung selaku lembaga pengawas tidak pernah memberikan respons atas laporan dan permintaan klarifikasi publik terkait sekolah ilegal ini.
Kontroversi Perizinan dan Maladministrasi
Video unggahan kader Partai Nasdem, M. Nikki Saputra, dan konten TikTok PKS beberapa bulan lalu menegaskan siapa aktor di balik penyelenggaraan SMA Siger. Anehnya, tak ada perwakilan pemerintah provinsi yang hadir, meski Dewan Pendidikan Lampung sebagai lembaga independen seharusnya menjadi salah satu pihak pengawas. Sidak yang dilakukan hanya oleh pimpinan DPRD kota, yang malah mendukung keberlangsungan sekolah ini.
Sementara itu, ketua komisi V DPRD Provinsi Lampung, Yanuar Irawan (PDI Perjuangan), belum menanggapi permohonan klarifikasi dari publik maupun pihak sekolah. Sebelumnya, beberapa kepala sekolah swasta telah melaporkan mal administrasi SMA Siger menjelang pendaftaran murid baru, melalui rapat dengar pendapat di Komisi V DPRD Provinsi Lampung, yang melibatkan Syukron (PKS), Junaidi (Demokrat), dan Chondrowati (PDI Perjuangan). Namun, pertemuan tersebut dinilai sia-sia karena tidak menghasilkan tindakan nyata, dan menghabiskan dana publik.
Praktik Sekolah Ilegal dan Dugaan Penyalahgunaan Dana
SMA Siger sampai saat ini masih beroperasi, menjalankan kegiatan belajar-mengajar, dan melakukan jual-beli modul kepada peserta didiknya—praktik yang seharusnya tidak diperbolehkan. Ketua Komisi 4 DPRD Bandar Lampung, Asroni Paslah, enggan memberikan klarifikasi terkait hal ini, begitu juga Ketua DPRD Bandar Lampung, Bernas.
Lebih lanjut, sekolah ini juga menerima jatah MBG tanpa prosedur data Dapodik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas penerimaan peserta didik. Publik masih bertanya-tanya mengenai identitas ketua dan pengurus yayasan, apakah benar Khaidirsyah atau eks Kadis Pendidikan Kota Metro sebagaimana diungkap beberapa pihak.
Data dan laporan menunjukkan SMA Siger terselenggara dengan dukungan dana dan aset Pemkot Bandar Lampung, sementara pemerintah provinsi tampak diam meski tersandera oleh Perda Nomor 9 Tahun 2016. Dugaan ini memunculkan pertanyaan serius: bagaimana pemerintah daerah bisa mengabaikan aturan perizinan sekolah menengah?
Penegakan Hukum dan Respons Publik
Sejumlah pihak telah melaporkan dugaan ilegalitas SMA Siger ke Polda Lampung. Namun, laporan tersebut dikategorikan sebagai Dumas dengan alasan Lex Specialis. Hingga satu minggu berlalu, pelapor belum menerima panggilan resmi dari kepolisian, menimbulkan persepsi publik bahwa penegakan hukum terhadap kasus ini lamban dan tidak tegas.
Keberadaan SMA Siger, praktik jual-beli modul, penerimaan peserta tanpa prosedur resmi, hingga dugaan penggunaan dana pemerintah kota, menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas Wali Kota, DPRD Bandar Lampung, dan ketidakseriusan pemerintah provinsi. Kasus ini menjadi simbol kegagalan etika pemerintahan daerah dan menuntut respons serius dari seluruh pihak terkait.
Publik Lampung kini menuntut transparansi penuh, tindakan hukum yang tegas, dan evaluasi menyeluruh terhadap izin serta manajemen SMA Siger, agar kasus serupa tidak terulang dan sistem pendidikan tetap berpegang pada aturan hukum yang berlaku.***


