RUWA JURAI- Lampung tengah berada di pusaran gejolak hukum yang serius. Bukan lagi soal janji kampanye, tapi janji yang harus “ditagih” di meja pemeriksaan. Beberapa bulan terakhir, para pejabat daerah seolah berjalan di atas kaca, sementara aparat penegak hukum menelusuri setiap langkah mereka selama menjabat.
Fenomena ini membentuk pola yang jelas. Mantan bupati dari wilayah agraris kini harus menjelaskan izin yang mengubah kawasan hutan menjadi lahan pribadi. Pemimpin kabupaten yang membidangi proyek air bersih berhadapan dengan kasus korupsi. Bahkan pembangunan yang tampak sepele, seperti gerbang rumah dinas, ikut menjadi sorotan. Puncaknya, mantan gubernur Lampung dipanggil terkait aset dan dana besar investasi migas BUMD.
Sorotan kini beralih ke Bandar Lampung, jantung provinsi yang mencoba menjaga ketenangan di tengah badai hukum. APBD Kota 2023 yang sebelumnya mendapat opini WTP, justru jadi sorotan Kejaksaan Agung. Para pejabat teras Kota bahkan harus bolak-balik ke Jakarta untuk memberikan klarifikasi.
Di sisi lain, di tengah tekanan ekonomi dan utang, Pemerintah Kota mengalokasikan dana hibah puluhan miliar rupiah untuk pembangunan gedung lembaga penegak hukum. Bagi pengamat, langkah ini bukan sekadar bantuan, melainkan strategi “pengamanan” yang bernilai fantastis. Sebuah pertanyaan muncul: apakah kucuran dana ini cukup untuk membeli ketenangan di tengah musim berburu pejabat Lampung?
Kejadian ini menegaskan satu hal: mata hukum kini fokus, dan Bandar Lampung ada di titik panas politik yang tak bisa diabaikan.***


