RUWAJURAI NEWS – Krisis moneter 1997–1998 menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Nilai rupiah anjlok drastis, inflasi meroket, dan ribuan perusahaan gulung tikar. Di tengah situasi tersebut, Indonesia menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) sebagai upaya penyelamatan ekonomi. Namun, keterlibatan IMF memunculkan pro dan kontra yang hingga kini masih diperdebatkan.
IMF memberikan paket pinjaman sekitar 43 miliar dolar AS dengan syarat pemerintah Indonesia melakukan berbagai reformasi struktural, seperti liberalisasi sektor keuangan, penghapusan subsidi tertentu, hingga pengetatan kebijakan fiskal. Kebijakan ini memang membantu menstabilkan nilai tukar rupiah, tetapi di sisi lain memicu lonjakan harga kebutuhan pokok dan memperdalam kesenjangan sosial.
Banyak ekonom menilai, kehadiran IMF saat itu menolong Indonesia keluar dari jurang kebangkrutan. Namun, kritik keras datang karena syarat-syarat pinjaman dianggap memperparah penderitaan masyarakat kelas bawah dan mengurangi kedaulatan ekonomi nasional.
Hingga kini, pengalaman krisis 1998 menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk lebih berhati-hati terhadap utang luar negeri dan menjaga stabilitas ekonomi domestik. Pemerintah pun terus berupaya memperkuat fondasi ekonomi agar tidak lagi terlalu bergantung pada lembaga internasional seperti IMF saat menghadapi gejolak global.***


