RUWA JURAI– Polemik alih fungsi Terminal Panjang menjadi SMA Swasta Siger yang digagas Wali Kota Eva Dwiana, atau yang akrab dijuluki “The Killer Policy”, kembali menyorot perhatian publik. Kali ini, sorotan tertuju pada Agus Jumadi, anggota DPRD Kota Bandar Lampung dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga menjabat Ketua Komisi III.
Agus Jumadi dinilai publik “tersandera politik” karena sikapnya yang terkesan bungkam saat diminta klarifikasi mengenai alokasi anggaran untuk pembangunan gedung sekolah tersebut. Permintaan konfirmasi dilakukan melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 4 Oktober 2025, namun politisi PKS ini tidak memberikan jawaban sama sekali.
Menariknya, Komisi III DPRD Bandar Lampung membawahi bidang penataan ruang, dinas perhubungan, serta pekerjaan umum—artinya isu alih fungsi Terminal Panjang berada tepat di bawah ranah tanggung jawabnya. Dalam konteks ini, diamnya Agus Jumadi menimbulkan pertanyaan besar: apakah DPRD benar-benar menjalankan fungsi pengawasan atau justru menutup mata terhadap kebijakan kontroversial yang sarat kepentingan politik?
Sejumlah aktivis dan praktisi hukum menyoroti kondisi ini sebagai bentuk pembiaran terhadap kebijakan publik yang dilakukan tanpa dasar hukum jelas. Hendri Adriansyah, SH, MH, menyatakan, “Kalau DPRD diam, siapa lagi yang mengawal kepentingan rakyat? Jangan sampai DPRD justru menjadi bagian dari permainan politik anggaran Pemkot.”
Selain itu, publik menyoroti potensi penyalahgunaan anggaran APBD jika alih fungsi Terminal Panjang benar-benar terealisasi. Hingga kini, tidak ada penjelasan resmi terkait sumber dana, rincian anggaran, atau kelayakan teknis penggunaan terminal sebagai gedung sekolah swasta. Keadaan ini membuat warga semakin was-was dan mempertanyakan integritas fungsi pengawasan DPRD.
Sikap diam Agus Jumadi juga menimbulkan persepsi bahwa politik pencitraan lebih diutamakan dibandingkan kepentingan publik. Meski Fraksi PKS dikenal vokal dalam isu-isu sosial dan transparansi, dalam kasus Terminal Panjang, publik menilai ada ketidakseriusan dalam menegakkan pengawasan legislasi.
Praktisi pendidikan dan pengamat kebijakan kota pun ikut menyoroti wacana kontroversial ini. Mereka menekankan bahwa alih fungsi fasilitas publik harus melalui kajian mendalam, perencanaan yang transparan, serta partisipasi masyarakat. Mengabaikan prosedur ini dapat berdampak jangka panjang pada pelayanan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Kini publik menunggu langkah nyata Agus Jumadi dan Fraksi PKS: apakah mereka berani membuka suara, menuntut klarifikasi, dan menegakkan fungsi pengawasan, atau tetap memilih diam di balik politik kepentingan? Skandal ini bukan sekadar persoalan sekolah, melainkan ujian integritas DPRD Kota Bandar Lampung dalam menjaga aset publik dan mengawasi kebijakan eksekutif.***


