RUWA JURAI– Kota Tapis Berseri tengah menunggu sejarah baru yang berpotensi mengguncang Provinsi Lampung, bahkan bisa menjadi sorotan nasional. Desakan agar DPRD Kota Bandar Lampung memproses pemakzulan Wali Kota Eva Dwiana kini semakin nyaring terdengar. Kasus dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan Sekolah Siger membuat publik menilai bahwa kepercayaan terhadap kepemimpinan sang wali kota sedang diuji.
Sorotan tajam bermula dari dugaan pelanggaran hukum dan sumpah jabatan yang dilakukan Eva Dwiana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Isu ini mengingatkan publik pada kasus politik lain di masa lalu yang mengguncang Indonesia, seperti peristiwa pemakzulan Aceng Fikri. Meski konteksnya berbeda, pola pelanggaran administratif dan dugaan penyalahgunaan kewenangan dinilai memiliki kemiripan dalam aspek moral dan tanggung jawab publik.
Pusat permasalahan kini mengarah pada pendirian Sekolah Siger yang dianggap menyalahi prosedur hukum. Pegawai Pelayanan Administrasi Lembaga Pendidikan Masyarakat (LPM) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Danny Waluyo Jati, menjelaskan bahwa setiap pendiri lembaga pendidikan wajib mengikuti tahapan administrasi yang jelas dan ketat.
Menurutnya, pendiri atau pemilik yayasan harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Selain itu, lembaga pendidikan wajib memiliki aset tetap berupa tanah dan bangunan sebelum dapat mengajukan izin operasional. Syarat tersebut diatur dalam Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023 Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 7, yang menjadi dasar hukum pendirian lembaga pendidikan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda. Sekolah Siger diduga sudah melaksanakan kegiatan belajar mengajar lebih dari satu bulan di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Kota Bandar Lampung tanpa mengantongi izin resmi. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar tentang komitmen pemerintah kota dalam menegakkan aturan pendidikan.
Sesuai Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2016 Pasal 2 Bab 3, kewenangan pengelolaan pendidikan jenjang menengah berada di tangan Pemerintah Provinsi Lampung, bukan pemerintah kota. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di Sekolah Siger tanpa izin sah dianggap sebagai pelanggaran terhadap mekanisme yang telah diatur undang-undang.
Ketika dikonfirmasi, Thomas Amirico dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung mengakui bahwa Sekolah Siger memang belum memiliki izin resmi. “Enggak, kan belum berizin. Rencananya juga baru tahun depan,” katanya pada 17 September 2025. Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa kegiatan sekolah tersebut dilakukan secara ilegal dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Lebih jauh lagi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menyebut bahwa penyelenggara satuan pendidikan tanpa izin resmi dapat dikenakan pidana hingga 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah. Aturan ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan berlaku untuk seluruh penyelenggara pendidikan di Indonesia.
Dengan adanya sejumlah fakta ini, publik menilai bahwa Eva Dwiana diduga telah melanggar sumpah dan janji jabatan yang mengharuskan kepala daerah menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan dengan seadil-adilnya dan selurus-lurusnya. Pelanggaran ini bukan hanya mencoreng citra kepemimpinan, tetapi juga bisa berimplikasi hukum serius terhadap jabatan yang diemban.
Kini masyarakat menantikan langkah DPRD Kota Bandar Lampung untuk bertindak. Desakan agar lembaga legislatif membawa indikasi pelanggaran ini ke Mahkamah Agung semakin menguat. Jika terbukti, Mahkamah Agung dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden atau Menteri Dalam Negeri untuk memberhentikan Eva Dwiana dari jabatannya sebagai wali kota.
Apabila langkah berani ini benar-benar diambil, sejarah baru akan tercipta di Sang Bumi Ruwa Jurai. Bandar Lampung tidak hanya akan dikenal sebagai kota dengan dinamika politik tinggi, tetapi juga sebagai simbol keberanian dalam menegakkan integritas dan supremasi hukum.***


