RUWA JURAI– Kontroversi kembali menyeruak di dunia pendidikan Bandar Lampung. SMA Siger, sekolah yang didirikan dan sering dipromosikan oleh Wali Kota Eva Dwiana sebagai “sekolah gratis untuk semua,” kini terbukti memiliki kebijakan yang mengejutkan: menjual modul pelajaran kepada murid dengan harga Rp 15 ribu per buku.
Sejumlah siswa mengungkapkan fakta ini saat ditemui di sela jam istirahat. “Iya gratis, tapi kalau modul kita beli 15 ribu. Tapi buat yang mau beli aja,” kata beberapa murid SMA Siger 2, sambil menikmati menu makan bergizi yang juga menjadi sorotan karena sekolah ini belum terdaftar di Dapodik, sistem pendataan resmi pendidikan nasional.
Jika dihitung, dalam satu kurikulum terdapat 15 mata pelajaran. Artinya, setiap siswa yang ingin memiliki modul lengkap harus mengeluarkan biaya hingga Rp 225 ribu. Biaya ini bertentangan dengan klaim sekolah gratis yang kerap digaungkan oleh Wali Kota Eva Dwiana melalui berbagai kanal media sosialnya.
Ironisnya, SMA Siger memanfaatkan APBD Kota Bandar Lampung untuk biaya operasional, namun pengajuan anggaran tersebut ternyata masih dalam tahap finalisasi di tingkat provinsi. Chepi, Kabid Anggaran BKAD Kota Bandar Lampung, menjelaskan, “Setahu saya Disdik sudah mengajukan dan sekarang masih tahap finalisasi di provinsi.”
Sementara itu, Kabid Dikdas Disdikbud Bandar Lampung mengaku belum bisa memberikan jawaban pasti terkait anggaran sekolah ini. “Saya bukan orang yang berkompeten sebenarnya menjawab terkait ini. Tapi setahu saya, anggarannya masih dalam finalisasi,” tambahnya, menegaskan bahwa regulasi dan pendanaan resmi sekolah ini masih dalam proses panjang.
Keberadaan SMA Siger awalnya dipromosikan sebagai sekolah bagi warga pra sejahtera, dengan janji bahwa semua kebutuhan pendidikan murid akan digratiskan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan realitas yang berbeda. Penjualan modul pelajaran dan status sekolah yang belum resmi terdaftar di Dapodik memunculkan pertanyaan tentang transparansi pengelolaan dan akuntabilitas penggunaan anggaran publik.
Upaya konfirmasi lebih lanjut dari pihak sekolah belum berhasil. Plh Kepala SMA Siger 2, Udina, yang juga menjabat sebagai Kepala SMP Negeri 44 Bandar Lampung, tidak dapat ditemui meski terlihat mobilnya di area parkir sekolah. Ketidakhadiran pejabat terkait menimbulkan pertanyaan tambahan mengenai manajemen sekolah dan penanganan keluhan orang tua murid.
Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi terkait program pendidikan Wali Kota Eva Dwiana, yang kini semakin lekat dengan julukan “The Killer Policy.” Berbagai pihak menilai fenomena ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program pendidikan yang mengandalkan dana publik, agar janji “sekolah gratis” tidak menjadi sekadar slogan tanpa implementasi nyata.
Selain dampak ekonomi bagi siswa dan orang tua, kontroversi ini juga memunculkan isu kredibilitas pemerintah daerah dalam menjamin hak pendidikan bagi masyarakat. Pengamat pendidikan lokal menekankan perlunya mekanisme pengawasan lebih ketat, transparansi pengelolaan anggaran, serta keterbukaan informasi terkait biaya tambahan yang dipungut oleh sekolah yang mengklaim gratis.
Situasi ini kini menjadi sorotan publik dan media, memicu diskusi hangat tentang keadilan pendidikan, penggunaan anggaran daerah, dan integritas kebijakan yang diusung oleh Wali Kota Bandar Lampung. Masyarakat menunggu langkah tegas dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa janji pendidikan gratis benar-benar dijalankan sesuai regulasi dan tanpa beban tambahan bagi siswa.***


