RUWA JURAI – Suasana politik dan birokrasi di lingkungan Pemerintah Kota Bandar Lampung kembali memanas. Pernyataan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Bandar Lampung, Febriana, pada Kamis (15/10/2025), seolah “mengusik kesadaran” sang Wali Kota, Eva Dwiana, terkait urusan perizinan yang kini tengah jadi buah bibir publik.
Dalam pernyataannya yang terekam jejak digital, Febriana menegaskan pentingnya legalitas bagi setiap kegiatan usaha di Kota Tapis Berseri. Ia mengingatkan masyarakat agar memahami bahwa izin usaha bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk kepatuhan terhadap aturan demi keberlangsungan bisnis yang sehat.
“Masyarakat harus memahami betapa pentingnya legalitas usaha bagi keberlangsungan usahanya,” tegas Febriana. “Kami akan terus mendorong terciptanya iklim investasi yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan di Kota Bandar Lampung dengan mempermudah perizinan sesuai aturan yang berlaku.”
Namun, pernyataan tersebut justru memantik perhatian publik lantaran dinilai menohok kebijakan atasannya sendiri. Pasalnya, di tengah upaya DPMPTSP memperketat tata kelola izin usaha, muncul fakta mencengangkan bahwa Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, justru diduga mengabaikan prosedur perizinan dalam proyek pendidikan yang diprakarsainya sendiri.
Eva Dwiana, yang kini populer dengan julukan “The Killer Policy”, disebut-sebut menjalankan operasional sekolah SMA Swasta Siger tanpa menyerahkan dokumen legalitas resmi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Tak hanya itu, sang wali kota juga dikabarkan memanfaatkan aset milik negara di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Bandar Lampung untuk menunjang aktivitas sekolah tersebut.
Langkah itu pun menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk praktisi pendidikan. Salah satunya, M. Arief Mulyadin, yang menilai bahwa apa yang disampaikan Febriana secara tidak langsung menjadi “tamparan keras” bagi Eva Dwiana.
“Seharusnya dengan ungkapan itu, Eva malu. Karena pernyataan Febriana tentang pentingnya legalitas sangat kontras dengan fakta sekolah Siger yang belum memiliki izin. Ini jelas mengusik kesadaran Wali Kota,” ujar Arief, Jumat (17/10/2025).
Menurut Arief, pernyataan Febriana menjadi sinyal penting bahwa di tubuh birokrasi Pemkot Bandar Lampung masih ada pejabat yang berani bersuara soal tata kelola pemerintahan yang baik. Ia menilai langkah tersebut seharusnya dijadikan refleksi bagi Eva Dwiana agar tidak lagi mengabaikan aturan yang justru ditegakkannya melalui perangkat daerah.
Publik kini menunggu respons dari sang Wali Kota atas kontroversi yang semakin mencuat ini. Apakah Eva Dwiana akan memberikan klarifikasi resmi, atau justru memilih bungkam di tengah derasnya kritik soal kebijakan pendidikan dan penggunaan aset negara?
Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan besar soal konsistensi dan integritas kepemimpinan di Pemkot Bandar Lampung. Jika benar pernyataan Febriana merupakan bentuk teguran halus dari dalam pemerintahan sendiri, maka publik patut menilai: apakah birokrasi kota ini sedang memasuki babak baru transparansi, atau justru terjebak dalam ironi politik dan kepentingan pribadi?***


