RUWA JURAI– Pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran demi pengembangan diri serta peningkatan kualitas hidup. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara untuk dipenuhi secara merata dan berkeadilan.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan pemerintah daerah tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Di Provinsi Lampung, kebijakan Dinas Pendidikan yang menambah kuota siswa pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri telah menimbulkan kontroversi yang luas.
Kebijakan ini, meski dimaksudkan untuk memperluas akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak tertampung di sistem zonasi, menimbulkan dampak serius bagi sekolah swasta. Sekolah-sekolah swasta di Lampung menghadapi penurunan jumlah pendaftar, yang berdampak langsung pada pendapatan dan keberlangsungan operasional mereka. Banyak sekolah swasta berada dalam kondisi “mati segan hidup tak mampu,” kehilangan basis peserta didik secara bertahap dan menghadapi risiko kebangkrutan pendidikan jika kondisi ini terus berlangsung.
Dari perspektif hukum administrasi, setiap kebijakan publik wajib berlandaskan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Keputusan pejabat publik harus mengutamakan kepastian hukum, kemanfaatan, proporsionalitas, dan keadilan sosial, serta tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Pertanyaan krusial muncul: apakah penambahan kuota siswa ini merupakan diskresi administratif (beleidsvrijheid) yang sah menurut hukum, atau justru menyalahi asas transparansi, proporsionalitas, dan keadilan? Praktik lapangan menunjukkan adanya beberapa masalah serius akibat kebijakan ini:
1. Kepadatan ruang kelas berlebihan– Banyak kelas di sekolah negeri kini menampung siswa jauh melebihi kapasitas ideal, menurunkan kualitas interaksi guru-siswa dan efektivitas pembelajaran.
2. Rasio guru dan siswa tidak seimbang – Guru di sekolah negeri terbebani dengan jumlah siswa yang meningkat tajam, mengakibatkan kualitas pengajaran menurun.
3. Kerugian sekolah swasta – Penurunan jumlah pendaftar di sekolah swasta menyebabkan tekanan finansial, kesulitan operasional, dan risiko penutupan sekolah.
4. Kecemburuan sosial dan ketidakadilan– Sekolah swasta merasa dirugikan, sementara publik tidak mendapatkan penjelasan yang transparan mengenai dasar kebijakan ini.
Kebijakan publik di sektor pendidikan harus berlandaskan analisis kebutuhan yang matang dan asas proporsionalitas. Setiap keputusan pemerintah tidak hanya harus sah secara administratif, tetapi juga harus legitimate di mata masyarakat. Pendidikan bukan sekadar hak legal formal, tetapi juga hak substantif yang harus dirasakan manfaatnya secara merata.
Praktisi hukum dan pengamat pendidikan menekankan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik wajib menjadi dasar setiap kebijakan. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar memberikan manfaat menyeluruh tanpa merugikan pihak tertentu. Tanpa langkah-langkah ini, maladministrasi pendidikan akan terus berlanjut, menimbulkan ketidakadilan bagi sekolah swasta, dan mengancam kualitas pendidikan secara umum.
Dalam jangka panjang, kegagalan menyeimbangkan kebijakan PPDB dapat memicu kerugian sistemik bagi pendidikan Lampung: sekolah swasta sebagai penopang alternatif pendidikan berkualitas bisa mati perlahan, kualitas pendidikan menurun, dan masyarakat kehilangan pilihan pendidikan yang beragam. Oleh karena itu, perencanaan dan implementasi kebijakan pendidikan harus bersifat inklusif, adil, dan transparan, agar tercipta tata kelola pendidikan yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan seluruh warga Lampung.***


