RUWA JURAI – Polemik pendidikan di Provinsi Lampung kembali memanas. Komisi 5 DPRD Lampung dikabarkan tutup mata dalam isu yang semakin menyita perhatian kepala sekolah SMA/SMK swasta. Kontroversi terbaru muncul terkait rencana pembukaan jurusan baru di SMK Negeri 5 Bandar Lampung untuk tahun ajaran 2026/2027 dan pendirian SMK khusus seni di Taman Budaya.
Ide pendirian jurusan baru dan SMK baru ini awalnya muncul dari dialog Dewan Kesenian Lampung dengan Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia. Namun, prosesnya justru diinisiasi oleh anggota Komisi 5 DPRD Lampung, Deni Ribowo, yang membawa isu ini kepada Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal. Keputusan gubernur untuk menyetujui usulan ini memicu kekhawatiran kepala sekolah swasta tentang keberlangsungan lembaga pendidikan mereka.
“Kami semakin khawatir karena pada tahun 2025 tidak ada BOSDA dari pemerintah daerah, dan tahun depan belum ada kepastian BOP seperti sekolah negeri. Persaingan untuk merebut sekitar 2.000 siswa dari 14 ribu lulusan SMP membuat eksistensi sekolah swasta semakin terancam,” ungkap salah satu kepala sekolah swasta.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. SMK Negeri 5 Bandar Lampung saat ini menghadapi masalah overload rombel dan keterbatasan ruang kelas. Kepala sekolah swasta menjelaskan, “Rombel di SMK 5 ada 44, sedangkan jumlah ruang hanya 26 dan siswa mencapai 1.428 orang. Dengan hanya 26 ruang, di mana 18 rombel lainnya belajar? Ini jelas tidak mencukupi.”
Lebih jauh, isu ini semakin memanas karena Komisi 5 DPRD Provinsi Lampung tidak memberikan tanggapan yang jelas. Anggota komisi, termasuk Ketua Yanuar Irawan dan Syukron Muchtar, enggan mengklarifikasi soal keberadaan sekolah swasta dan dugaan pelanggaran regulasi. Padahal, Forum Komunikasi Kepala Sekolah (FKKS) telah melakukan hearing dengan Komisi 5 pada 7 Juli 2025, mengeluhkan penyelenggaraan sekolah ilegal bernama SMA Siger yang diduga melanggar sembilan peraturan perundang-undangan, mulai dari Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2014 hingga Permendagri Nomor 7 Tahun 2024.
Ketiadaan respons legislatif memunculkan anggapan publik bahwa eksekutif dan legislatif seakan hendak “menyuntik mati” lembaga pendidikan masyarakat jenjang menengah atas. Kepala sekolah swasta menilai, kebijakan baru justru mengabaikan kebutuhan lembaga pendidikan yang telah berperan lama dalam mendidik generasi muda Lampung.
Publik juga menyoroti peran Deni Ribowo yang membawa inisiatif pendirian SMK baru dan jurusan baru kepada Gubernur Lampung tanpa mempertimbangkan dampak terhadap sekolah swasta. Para kepala sekolah berharap anggota Komisi 5 bisa menjadi penghalang yang melindungi eksistensi lembaga pendidikan masyarakat.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan baru yang digulirkan tanpa melibatkan sekolah swasta ini akan memperkuat pendidikan publik, atau justru melemahkan peran masyarakat dalam pendidikan? Kekhawatiran bahwa SMK swasta akan tersingkir perlahan pun menjadi sorotan utama para pengamat dan kepala sekolah di Lampung.***
