RUWA JURAI– Isu serius mengemuka terkait keberadaan SMA Siger 2 Bandar Lampung yang diduga menjalankan kegiatan pendidikan tanpa memiliki izin pendirian resmi. Dugaan ini menimbulkan sorotan tajam dari penggiat kebijakan publik, akademisi, hingga masyarakat umum, karena menyangkut legalitas lembaga pendidikan sekaligus perlindungan peserta didik yang masih berstatus anak.
Pendidikan di jenjang SMA merupakan tahap transisi penting dari anak-anak menuju dewasa, yang kelak akan menjadi pewaris cita-cita bangsa. Oleh karena itu, penyelenggaraan satuan pendidikan harus dilaksanakan sesuai peraturan perundangan agar proses pendidikan tidak hanya efektif, tetapi juga sah secara hukum. Dalam konteks SMA Siger 2 Bandar Lampung, verifikasi menunjukkan dugaan kuat bahwa sekolah ini belum memiliki izin resmi.
Fakta yang terungkap menunjukkan bahwa SMA Siger 2 beroperasi di tanah dan gedung milik Pemerintah Kota Bandar Lampung, tepatnya di SMPN 44 Bandar Lampung, Jalan Pulau Buton Raya, Gunung Sulah, Way Halim. Meski kegiatan belajar mengajar telah berlangsung, legalitas pendirian sekolah tersebut dipertanyakan. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mensyaratkan setiap satuan pendidikan formal maupun nonformal wajib memiliki izin dari pemerintah atau pemerintah daerah.
Selain UU Sistem Pendidikan Nasional, peraturan pemerintah dan kementerian juga menegaskan kewajiban administrasi pendirian pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 menegaskan persyaratan izin termasuk persetujuan bangunan dan sertifikat laik fungsi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36 Tahun 2014 menambahkan bahwa pendirian satuan pendidikan harus dibuktikan dengan dokumen kepemilikan tanah atau bangunan yang sah, atas nama pemerintah, pemerintah daerah, atau badan penyelenggara berbadan hukum seperti yayasan.
Berdasarkan temuan ini, penggiat kebijakan publik Abdullah Sani menyarankan beberapa langkah resolusi yang mendesak:
Pertama, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung harus segera menghentikan kegiatan pendidikan di SMA Siger 2 sampai status izin jelas. Hal ini penting untuk menghindari tuduhan pembiaran dan memastikan kepatuhan terhadap Pasal 26 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Kedua, koordinasi dengan instansi terkait, termasuk Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung, harus dilakukan untuk menempatkan peserta didik ke sekolah yang sah. Penempatan ini harus memperhatikan kepentingan terbaik anak, sehingga mereka dapat menyelesaikan jenjang SMA tanpa mengganggu proses belajar sesuai kemampuan masing-masing.
Ketiga, terdapat indikasi pelanggaran pidana Sistem Pendidikan Nasional sesuai Pasal 71 UU Nomor 20 Tahun 2003. Pasal ini menyebutkan bahwa penyelenggara pendidikan yang didirikan tanpa izin dapat dipidana penjara maksimal sepuluh tahun dan/atau denda hingga satu miliar rupiah. Bukti-bukti, termasuk profil Yayasan Siger Prakarsa Bunda sebagai badan penyelenggara, telah diserahkan ke Polda Lampung melalui Direktorat Kriminal Khusus, Unit 3 Subdit 4 Tipiter pada 5 November 2025.
Selain itu, publik juga menyoroti kepengurusan yayasan yang menjalankan SMA Siger 2 Bandar Lampung. Nama-nama pengurus yang tercatat antara lain: Eka Afriana sebagai Pembina Ketua, Khaidarmansyah sebagai Ketua Yayasan, Satria Utama sebagai Sekretaris, Didi Agus Bianto sebagai Bendahara, dan Suwandi Umar sebagai Ketua Pengawas. Keberadaan pengurus ini menjadi penting dalam proses hukum dan penanganan dugaan pelanggaran, serta memastikan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus ini memunculkan pertanyaan lebih luas mengenai pengawasan satuan pendidikan di kota besar, peran pemerintah daerah, dan urgensi memastikan semua lembaga pendidikan memiliki izin resmi sebelum beroperasi. Dengan langkah tegas dari Dinas Pendidikan dan aparat hukum, diharapkan legalitas pendidikan di Bandar Lampung tetap terjaga, dan hak-hak peserta didik terlindungi secara optimal.***


