RUWA JURAI— Penegakan hukum di Lampung tengah menjadi sorotan tajam setelah rangkaian kasus kontroversial mencuat ke publik. Dari pesta narkoba hingga praktik sekolah ilegal, warga mempertanyakan kredibilitas aparat dan pejabat di provinsi ini.
Badan Narkotika Nasional (BNN) mengejutkan publik dengan membebaskan pengurus HIPMI yang tertangkap pesta narkoba jenis ekstasi bersama wanita penghibur. Hal ini memicu kegeraman masyarakat karena barang bukti berupa tujuh butir ekstasi jelas menunjukkan adanya konsumsi narkoba. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah status pengurus HIPMI membuat mereka kebal hukum?
Sementara itu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung juga menuai kritik setelah menetapkan tiga direksi PT LEB, perseroan daerah di bawah BUMD Provinsi Lampung, tanpa memberikan keterangan kerugian negara yang jelas. Publik menyoroti sejumlah kejanggalan, seperti:
1. Mengapa eks Gubernur Arinal Djunaidi masih bebas, meski merupakan pemegang saham utama?
2. Mengapa Aspidsus Armen Wijaya beberapa kali salah sebut dalam konferensi pers saat penahanan tiga direksi?
3. Mengapa aset Pj. Gubernur Lampung Samsudin tidak disita oleh Kejati?
4. Mengapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait belum diperiksa, padahal ada indikasi pelimpahan wewenang dari kepala daerah ke pejabat maupun eks pejabatnya?
Di bidang pendidikan, kontroversi makin memanas dengan keberadaan SMA swasta Siger, bentukan Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana, yang kini dikenal publik dengan sebutan The Killer Policy. Sekolah ini melakukan peminjaman aset negara tanpa kepastian payung hukum maupun administrasi kenegaraan. Hal ini membuat BKAD, ketua yayasan, dan kepala sekolahnya terancam dijerat kasus penggelapan aset negara.
Lebih parah, sekolah yang belum memiliki izin resmi ini diduga menggunakan aliran dana APBD Pemkot Bandar Lampung tanpa dasar hukum. Dari sisi regulasi, setidaknya sembilan peraturan telah dilanggar, termasuk Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2014, UU Nomor 16 Tahun 2001, UU Nomor 20 Tahun 2003, Perwali Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2022, hingga Permendagri Nomor 7 Tahun 2024.
Rangkaian kasus ini menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat Lampung:
Apakah karena status pengurus HIPMI mereka bisa lolos dari pesta narkoba?
Apakah eks Gubernur masih memiliki pengaruh hingga aparat menumbalkan orang kepercayaan?
Apakah praktik ilegal pendidikan di bawah kendali Wali Kota, yang juga menghibahkan Rp60 miliar untuk pembangunan kantor Kejati Lampung, membuat sekolah ilegal tetap bebas beroperasi?
Kontroversi ini menjadi alarm bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah Lampung untuk bertindak transparan dan adil. Publik menuntut kepastian hukum, agar tidak ada lagi kesan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Lampung kini menunggu jawaban nyata dari BNN, Kejati, dan pemerintah kota terkait rangkaian skandal yang mengguncang provinsi ini.***


