RUWA JURAI- Puisi “Senyum yang Mengalir di Antara Gugur” karya Muhammad Alfariezie menghadirkan sebuah refleksi mendalam mengenai kefanaan, kenangan, dan kepekaan terhadap waktu. Karya ini mengajak pembaca untuk menyelami hubungan antara manusia dengan alam sekaligus menghayati pergantian momen yang tidak bisa ditahan.
Lewat diksi yang sederhana namun kaya makna, penyair membangun ruang permenungan di mana alam dan emosi manusia saling bertaut. Puisi ini bukan hanya tentang keindahan alam, tetapi juga tentang bagaimana pengalaman hidup, kenangan, dan kebahagiaan sementara tertanam di dalam tiap detik yang mengalir.
Senyum yang Mengalir
di Antara Gugur
Sebelum kembang gugur
melebur dengan sesuatu
yang subur, ingatlah
geraknya mengalirkan
senyum
Sebelum sungai mengering
menyisakan lumut dan batu,
rekamlah hijau teduh percik
dan gemerciknya
Sebelum jemu dan jauh
meninggalkanku, ingatlah
ladang bahagia kita telah
menyingkap warna rahasia
Kamu tentu tahu bagaimana
saya berusaha dan saya
paham semangatnya tumbuh
dari sana
2025
Tema dan Latar Rasa
Tema utama puisi ini adalah kesadaran menjelang kehilangan. Penyair menulis dengan nada reflektif, seolah mengajak pembaca untuk mengingat dan merekam sebelum perpisahan menjadi kenyataan. Penggunaan kata “sebelum” secara berulang menjadi poros utama, menandai kesadaran waktu yang terus bergerak dan mengingatkan kita akan kefanaan segala sesuatu.
Simbolisme alam mendominasi puisi ini. Kembang, sungai, lumut, batu, dan ladang bahagia bukan sekadar latar, melainkan medium untuk mengekspresikan perasaan manusia yang berubah-ubah. Alam berperan sebagai cermin jiwa — mengalir, mengering, dan pada akhirnya ditinggalkan, namun tetap meninggalkan kenangan yang membekas.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini menggunakan paralelisme repetitif yang menciptakan ritme meditasi. Setiap bait diawali dengan kata “sebelum”, menekankan urgensi dan kesadaran terhadap waktu yang terus bergerak. Kalimat-kalimat pendek, tanpa tanda baca berlebihan, menghasilkan kesan lembut namun sarat tekanan emosional yang tersembunyi.
Diksi metaforis seperti “melebur dengan sesuatu yang subur” atau “ladang bahagia kita telah menyingkap warna rahasia” menunjukkan kematangan artistik penyair. Kontradiksi estetis — antara gugur dan subur, mengering dan gemericik — memperkuat paradoks cinta, waktu, dan kefanaan yang hadir secara bersamaan.
Diksi dan Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji visual dan auditori. Kata-kata seperti kembang, sungai, lumut, gemercik, dan ladang bahagia menciptakan suasana teduh, kontemplatif, dan intim. Imaji visual berpadu dengan imaji auditori, menghadirkan keseimbangan antara gerak dan diam, bunyi dan hening.
Senyum yang mengalir menjadi simbol sentral, menyiratkan keberlanjutan kebahagiaan meski berada di tengah kefanaan. Senyum yang mengalir bukan hanya tindakan fisik, tetapi representasi dari penerimaan dan keteguhan menghadapi perubahan.
Nilai Emosional dan Filosofis
Nada puisi ini melankolis namun tidak putus asa. Penyair menekankan pentingnya kesadaran dan penerimaan terhadap kefanaan. Bait terakhir menegaskan afirmasi bahwa dari kehilangan dan perubahan, tetap ada ruang untuk pengertian, keteguhan, dan pertumbuhan emosional. Puisi ini mengajarkan bahwa yang terpenting bukan menghindari kehilangan, tetapi menemukan makna di balik setiap perpisahan dan perubahan yang terjadi.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, “Senyum yang Mengalir di Antara Gugur” adalah karya puitik yang halus, reflektif, dan matang secara emosional. Muhammad Alfariezie berhasil memadukan unsur alam, waktu, dan perasaan manusia menjadi satu kesatuan yang harmonis. Kesederhanaannya justru menjadi kekuatan; puisi ini menghadirkan meditasi kecil tentang kehidupan, kenangan, dan keberanian untuk tetap tersenyum meski segala hal perlahan gugur.***


