RUWA JURAI– Perumahan adalah salah satu indikator paling nyata dari kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan stabilitas sosial, ekonomi, dan keberlanjutan kehidupan keluarga. Di Provinsi Lampung, permasalahan perumahan semakin kompleks akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang cepat, dan perubahan pola hidup masyarakat. Pembangunan sektor perumahan bukan sekadar membangun bangunan, tetapi membangun kehidupan yang layak dan bermartabat bagi seluruh warga.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung tahun 2024, jumlah penduduk Lampung telah melampaui sembilan juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan sekitar 2,5 persen per tahun. Namun, data Kementerian PUPR melalui Dashboard PKP 2024 menunjukkan bahwa backlog perumahan di Lampung masih sebesar 37,04 persen. Artinya, lebih dari sepertiga keluarga belum memiliki hunian layak. Sekitar 344 ribu unit rumah di berbagai kabupaten dan kota tergolong tidak layak huni, menunjukkan bahwa kebutuhan rumah layak dan terjangkau bukan hanya agenda pembangunan, tetapi juga krisis kemanusiaan yang harus segera ditangani.
Keterjangkauan menjadi tantangan terbesar. Dalam lima tahun terakhir, harga rumah di Lampung terus meroket. Laporan Kompas Properti (Juni 2025) menunjukkan bahwa rumah bersubsidi kini mencapai Rp162 juta per unit, sementara rumah non-subsidi di perkotaan seperti Bandar Lampung, Lampung Selatan, dan Pesawaran bisa menembus Rp600 juta hingga Rp1 miliar. Kenaikan harga rumah rata-rata 5–10 persen per tahun tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat yang hanya 4–5 persen. Kondisi ini membuat keluarga muda dan masyarakat berpenghasilan rendah sulit memiliki rumah sendiri. Kenaikan harga tanah dan material bangunan mendorong pengembang beralih ke segmen menengah ke atas, sementara pasar rumah rakyat yang paling dibutuhkan semakin terpinggirkan.
Selain masalah keterjangkauan, infrastruktur dan tata kelola perumahan juga menjadi isu mendasar. Banyak kompleks perumahan baru yang dibangun tanpa akses memadai ke air bersih, jalan, atau transportasi umum. Laporan Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman tahun 2024 menyebutkan bahwa sekitar 30 persen warga perkotaan Lampung masih kesulitan memperoleh utilitas dasar. Hal ini menciptakan fenomena perumahan tanpa kehidupan — hunian megah yang terisolasi dari akses sosial dan ekonomi. Proses perizinan dan tata ruang yang rumit juga menghambat investasi di sektor perumahan rakyat. Tumpang tindih kewenangan dan perubahan kebijakan zonasi sering membuat proyek tertunda, padahal penyederhanaan perizinan dan kepastian hukum adalah kunci iklim investasi yang sehat.
Meski begitu, Lampung memiliki potensi besar untuk membangun masa depan perumahan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi daerah mencapai lebih dari 5 persen pada semester pertama 2025, dengan sektor konstruksi menjadi kontributor utama. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi ekonomi lokal cukup kuat untuk mendukung pengembangan perumahan. Peluang besar terbuka melalui konsep rumah berkelanjutan atau green housing. Lampung memiliki potensi energi surya dan sumber daya alam melimpah, memungkinkan pembangunan hunian ramah lingkungan. Tren rumah hemat energi dan pemanfaatan material lokal dapat menjadi solusi untuk memenuhi tuntutan keberlanjutan.
Inovasi dalam sistem pembiayaan juga menjadi kunci. Skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi, bantuan uang muka, dan kerja sama dengan lembaga keuangan syariah dapat memperluas akses kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah daerah memiliki peran strategis dengan menyediakan lahan, mempermudah izin, dan memberikan insentif fiskal bagi pengembang yang fokus pada rumah rakyat. Pendekatan ini harus dilakukan secara kolaboratif dengan perbankan, pengembang, akademisi, dan masyarakat agar hasilnya lebih efektif.
Pembangunan perumahan juga harus berpijak pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Rumah bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi hak dasar warga negara. Program perumahan harus menjangkau semua lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok mampu. Perumahan rakyat harus terintegrasi dengan fasilitas publik seperti sekolah, layanan kesehatan, ruang terbuka hijau, dan transportasi publik, sehingga hunian tidak hanya layak, tetapi juga memiliki kualitas hidup yang baik. Sebagaimana dikatakan Amartya Sen, pembangunan sejati bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi perluasan kemampuan manusia untuk hidup bermartabat dan menentukan masa depannya sendiri.
Sebagai Ketua DPD Himperra Lampung, saya meyakini masa depan perumahan di Lampung akan sangat ditentukan oleh kolaborasi lintas sektor dan reformasi kebijakan. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan rehabilitasi rumah tidak layak huni, memperluas program bantuan kepemilikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, serta menyederhanakan perizinan dan tata ruang untuk mempercepat investasi. Partisipasi masyarakat harus diperkuat dalam setiap tahap pembangunan agar tercipta rasa memiliki dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan.
Masa depan perumahan di Lampung mencerminkan arah pembangunan provinsi ini. Dengan pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan, Lampung bisa menjadi model pengembangan perumahan rakyat di Indonesia. Kota dan desa akan tumbuh selaras, dan setiap keluarga memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak di rumah sendiri. Seperti kata Jane Jacobs, “Kota yang baik adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan warganya.” Saatnya kita tidak hanya membangun rumah, tetapi membangun kehidupan — tempat setiap warga Lampung dapat tinggal dengan aman, sehat, dan bermartabat.***


