RUWA JURAI- Bayangkan sejenak, kita melompat ke masa depan menggunakan mesin waktu Doraemon dan tiba di tahun 2045. Di hadapan kita, terbentang Kota Baru Lampung yang hidup dan berdenyut dalam harmoni antara manusia, teknologi, dan alam. Tak ada polusi, hanya jalur hijau dan kendaraan listrik yang melintas di antara gedung pemerintahan berpanel surya, taman keanekaragaman hayati, dan perumahan rakyat yang asri.
Gambaran itu bukan fiksi ilmiah, melainkan visi yang bisa diwujudkan jika pembangunan Kota Baru dilakukan dengan paradigma baru—berbasis ekologi, teknologi, dan kemanusiaan. Kota bukan sekadar ruang beton, tetapi organisme sosial yang tumbuh bersama warganya. Karena itu, pembangunan harus menjadi gerakan kolektif yang menyatukan kesadaran ekologis dan spiritualitas modern.
Provinsi Lampung saat ini menghadapi backlog perumahan sekitar 37 persen. Lebih dari seperempat penduduk masih tinggal di rumah tidak layak huni. Kota Baru di Jati Agung menjadi jawaban atas tantangan itu—bukan hanya menghadirkan hunian layak, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan. Pembangunan eco-smart city menjadi pilihan logis: kota yang efisien secara energi, ramah lingkungan, dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat.
Namun, gagasan besar ini hanya bisa terwujud lewat kolaborasi pentahelix: pemerintah sebagai pengarah kebijakan berkelanjutan, dunia usaha dan asosiasi seperti Himperra sebagai motor investasi hijau, akademisi seperti ITERA sebagai inovator teknologi, komunitas sebagai penjaga moral lingkungan, dan media sebagai pendorong transparansi publik.
Rencana Pemerintah Provinsi Lampung mencakup area 1.308 hektare untuk pusat pemerintahan, pendidikan, dan perumahan seluas 263 hektare. Program ini sudah masuk prioritas RPJMD 2025–2029 dengan dukungan DPRD. Sumber pendanaan akan mengandalkan skema blended finance melalui Kredit Program Perumahan (KPP), CSR, investasi swasta, dan obligasi hijau daerah. Pembentukan Badan Pengelola Kawasan Kota Baru (SPV) menjadi kunci agar proyek berjalan berkelanjutan dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek.
Kota Baru Lampung juga digadang menjadi laboratorium ekonomi sirkular pertama di Sumatra: energi surya komunitas, pengelolaan limbah mandiri, taman keanekaragaman hayati lima hektare, dan kawasan UMKM rendah karbon. Semua itu menjadikan kota bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ruang regenerasi di mana manusia belajar hidup berdampingan dengan alam dan teknologi.
Dua dekade dari sekarang, Lampung bisa menjadi magnet investasi hijau, pusat pemerintahan modern, sekaligus ruang hidup yang menyehatkan jiwa. Anak muda bekerja di sektor teknologi bersih, masyarakat menikmati taman komunitas yang rindang, dan kesenjangan sosial menipis. Kota Baru Lampung akan menjadi simbol kemajuan yang tidak kehilangan akar budaya dan nilai kemanusiaan.
Seperti kata filsuf Martin Heidegger, manusia tidak hanya tinggal di bumi, tetapi menjaga bumi agar tetap layak ditinggali. Membangun Kota Baru berarti membangun kesadaran baru: tumbuh tanpa merusak, maju tanpa melupakan alam, dan hidup bersama dalam keseimbangan.***


