RUWA JURAI— DPRD Kota Bandar Lampung menghadapi sorotan tajam atas sikapnya yang dinilai senyap dalam skandal jual beli 15 modul pelajaran di SMA swasta Siger. Lembaga pendidikan ini dibangun atas inisiatif Wali Kota Eva Dwiana dengan label kontroversial “The Killer Policy” dan diduga beroperasi secara ilegal. Skandal ini memunculkan pertanyaan besar terkait pengawasan DPRD terhadap penggunaan anggaran publik di sektor pendidikan.
Ketua DPRD Kota Bandar Lampung dari Fraksi Gerindra, Bernas, hingga kini belum menanggapi laporan maupun permohonan konfirmasi yang disampaikan pada Sabtu, 4 Oktober 2025. Begitu pula dengan Ketua Komisi 4, Asroni Paslah, yang memegang posisi strategis dalam pengawasan pendidikan di Kota Bandar Lampung, tidak memberikan komentar hingga Rabu, 8 Oktober 2025. Keheningan serupa juga ditunjukkan oleh kader muda Partai Nasdem, M. Nikki Saputra, yang duduk di bawah Asroni Paslah dan sebelumnya kerap memposting soal transparansi anggaran di media sosial.
Praktis, dari jajaran DPRD, hanya kader PKS, Sidik Efendi, yang bersedia memberikan tanggapan. Dalam pernyataannya melalui pesan WhatsApp, Sidik menegaskan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini bersama Komisi 4 DPRD. “Untuk lebih detail soal anggaran operasional sekolah Siger, ke Komisi 4. Kalau soal jual beli modul, nanti akan kami tindaklanjuti dengan kawan-kawan di Komisi 4,” jelas Wakil Ketua Badan Anggaran DPRD itu, Sabtu lalu.
SMA swasta Siger hingga kini belum terdaftar di Dapodik, sistem data pokok pendidikan nasional, sehingga murid-muridnya berisiko tidak mendapatkan ijazah resmi jika perizinan sekolah gagal. Ironisnya, sekolah ini menggunakan aliran dana dari Pemkot Bandar Lampung untuk operasionalnya, meskipun Eva Dwiana selaku penggagas menyatakan bahwa semua biaya pendidikan hingga kebutuhan murid sama sekali tidak berbiaya.
Kasus ini memunculkan berbagai pertanyaan serius, mulai dari legalitas sekolah, mekanisme pengawasan DPRD, hingga penggunaan anggaran publik. Dugaan praktik jual beli modul ilegal menimbulkan risiko terhadap kualitas pendidikan dan kepercayaan masyarakat, serta menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas di tingkat legislatif.
Sementara itu, aktivis pendidikan dan sejumlah orang tua murid menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap dampak jangka panjang bagi siswa. “Kalau sekolah ini gagal perizinan, anak-anak kami terancam kehilangan ijazah resmi. Harus ada tindakan tegas dari DPRD dan Dinas Pendidikan,” kata salah satu orang tua murid yang enggan disebut namanya.
Kader PKS Sidik Efendi menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti laporan ini, mengajak Komisi 4 DPRD bekerja sama memeriksa dugaan jual beli modul, memastikan alokasi anggaran benar, dan mengusut keterlibatan pihak-pihak terkait.
Kasus SMA Siger menjadi sorotan publik karena mencerminkan dilema pengawasan pendidikan swasta yang mendapat suntikan dana pemerintah, sekaligus menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan tindakan tegas dari DPRD untuk melindungi hak siswa dan kualitas pendidikan di Bandar Lampung.***


