RUWA JURAI – Kader partai Nasional Demokrat (NasDem), M. Nikki Saputra, kini menjadi sorotan publik setelah dianggap gagal menerjemahkan janji transparansi ke dalam tindakan nyata. Sikap ini tampak kontras dengan aktivitas media sosialnya yang penuh retorika soal pengelolaan anggaran dan perencanaan keuangan daerah.
Dalam berbagai postingan Instagram, Nikki kerap menekankan pentingnya perencanaan matang dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Salah satunya pada 4 Juni 2025, saat ia menghadiri workshop terkait perencanaan pembangunan daerah, ia menuliskan, “Perencanaan yang matang dan pengelolaan keuangan yang transparan adalah kunci masa depan daerah yang berkelanjutan. Saatnya integrasi jadi aksi, bukan sekadar wacana.” Caption ini kini dipandang publik sebagai pencitraan semata, karena ketika ditanya soal anggaran SMA Swasta Siger—sekolah bentukan Wali Kota Eva Dwiana yang dikenal dengan julukan The Killer Policy—Nikki tetap bungkam.
Skandal sekolah Siger sendiri tengah menjadi polemik di Bandar Lampung. Sekolah ini masih meminjam gedung SMP Negeri 38 dan 44, sementara murid-murid mengeluhkan praktik ilegal jual beli modul yang harganya mencapai Rp 15.000 per eksemplar, dan masing-masing siswa harus membeli 15 modul sesuai mata pelajaran. Persoalan ini menimbulkan keresahan publik, karena tidak ada dasar hukum yang jelas dalam pengadaan modul, dan praktik tersebut dinilai merugikan siswa dan orang tua secara finansial.
Ketika konfirmasi disampaikan melalui WhatsApp pada 4 Oktober 2025 terkait pelayanan dan praktik ilegal di sekolah Siger, Nikki memilih diam. Padahal ia telah memposting dokumentasi rapat koordinasi pembentukan SMA Swasta Siger, yang melibatkan Komisi 4 DPRD, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bandar Lampung, camat, kepala sekolah, Dewan Pendidikan, serta tokoh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, politisi muda tersebut mengetahui rencana penganggaran dan prosedur perubahan Perda atau Perwali untuk menyokong sekolah yang kontroversial tersebut.
Kondisi ini menimbulkan persepsi publik bahwa M. Nikki Saputra, sama seperti Heti Friskatati dari Golkar dan Mayang Suri Djausal dari Gerindra, memilih senyap dalam rentetan skandal yang menyangkut pengelolaan anggaran pendidikan dan kepentingan publik. Padahal sebagai legislator muda, Nikki diharapkan mampu menjadi pengawas yang energik dan bertindak sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah kota.
Selain itu, diamnya Nikki juga menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas dan akuntabilitas anggota DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan. Publik kini menuntut jawaban jelas: apakah transparansi yang ia promosikan hanya sebatas caption di media sosial, ataukah benar-benar menjadi pedoman dalam tindakan legislatif sehari-hari.
Skandal SMA Swasta Siger menyoroti masalah yang lebih luas: lemahnya pengawasan DPRD terhadap kebijakan anggaran publik, risiko penyalahgunaan kewenangan, dan potensi pelanggaran hukum yang berdampak langsung pada masyarakat, terutama siswa dan orang tua. Dengan publik yang semakin kritis, politisi muda seperti Nikki dituntut untuk tidak hanya tampil di media sosial, tetapi juga bertindak nyata untuk menegakkan prinsip transparansi dan keadilan.***


