RUWA JURAI – Isu keadilan pendidikan kembali mencuat ke permukaan dan kini menyeret nama-nama kepala daerah dari Partai Gerindra. Dari Jawa Barat hingga Lampung, sejumlah kebijakan dinilai tidak pro terhadap sekolah swasta dan lembaga pendidikan rakyat. Sorotan tajam publik kini mengarah kepada mereka yang dianggap telah melupakan perjuangan panjang para guru dan tenaga pendidik di luar lingkaran sekolah negeri.
Kebijakan yang mematikan ruang gerak sekolah swasta mulai terasa sejak awal tahun ajaran baru 2025. Di berbagai daerah, kebijakan rombongan belajar (rombel) yang tidak realistis, penerimaan siswa yang melebihi kapasitas, hingga pembiaran terhadap sekolah ilegal menjadi sederet catatan kelam bagi dunia pendidikan nasional.
Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi—kader Partai Gerindra—menjadi sorotan utama setelah menetapkan kebijakan yang memperbolehkan hingga 50 siswa dalam satu kelas. Kebijakan ini langsung mendapat penolakan keras dari delapan organisasi sekolah swasta tingkat SMA. Mereka menilai langkah tersebut merugikan sekolah swasta karena mempersempit kesempatan mendapatkan peserta didik baru. Para pengelola sekolah bahkan melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
“Ini bentuk diskriminasi terselubung. Bagaimana mungkin satu kelas diisi 50 siswa sementara sekolah swasta sepi murid dan nyaris gulung tikar?” ujar salah satu perwakilan organisasi sekolah swasta dalam konferensi pers di Bandung.
Gelombang keresahan juga meluas ke Provinsi Lampung. Para kepala sekolah swasta di sana menuding Rahmat Mirzani Djausal (RMD)—yang juga kader Gerindra sekaligus Gubernur Lampung—sebagai biang keladi menurunnya eksistensi lembaga pendidikan masyarakat (LPM). Mereka menilai kebijakan pemerintah daerah yang terlalu berpihak pada sekolah negeri telah mematikan daya hidup sekolah swasta yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan rakyat kecil.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa SMA dan SMK Negeri di Lampung menerima lebih dari 12.000 lulusan SMP, jauh melebihi kapasitas ideal. Akibatnya, hanya tersisa sekitar 2.000 siswa untuk ratusan sekolah swasta di wilayah tersebut. Banyak sekolah swasta akhirnya terancam tutup karena kekurangan siswa.
Masalah kian rumit ketika pemerintah daerah disebut-sebut membiarkan Wali Kota Bandar Lampung mendirikan sekolah baru bernama SMA Siger yang belum memiliki dasar hukum yang jelas. Sekolah yang masih ilegal itu disebut akan dibiayai melalui APBD, sementara sekolah swasta yang telah puluhan tahun berdiri justru tidak mendapat bantuan dana operasional atau subsidi Bosda dan BOP untuk tahun ajaran 2025–2026.
“Pemerintah seperti sengaja menutup mata. Kami tidak minta istimewa, kami hanya ingin keadilan,” ungkap salah satu kepala sekolah swasta di Bandar Lampung dengan nada getir.
Di sisi lain, gelombang perlawanan mulai muncul dari kalangan guru swasta. Mereka membentuk Gerakan Guru Anti Diskriminasi (Granad) Indonesia yang berencana menemui Presiden Prabowo Subianto pada 30 Oktober 2025. Rencananya, mereka juga akan menyampaikan aspirasi ke Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan.
Tuntutan mereka tegas dan menyentuh akar persoalan. Pertama, agar guru-guru swasta dan madrasah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Kedua, pemerintah diminta segera melunasi tunggakan pembayaran inpassing kepada guru yang telah memiliki Surat Keputusan (SK). Selain itu, mereka mendesak agar proses sertifikasi dan inpassing guru dipercepat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut para anggota Granad, perjuangan ini bukan sekadar soal status kepegawaian atau besaran gaji. Ini adalah perjuangan untuk martabat dunia pendidikan di Indonesia. Mereka menilai pemerintah seolah hanya memperhatikan sekolah negeri dan guru ASN, sementara guru swasta yang juga berperan penting dalam mencerdaskan bangsa terus terpinggirkan.
Gelombang kritik yang mengarah ke pemerintahan Prabowo–Gibran kini semakin deras. Publik menanti langkah nyata dari pemerintah pusat dalam merespons berbagai dugaan diskriminasi dan ketidakadilan di sektor pendidikan.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah pemerintahan Prabowo–Gibran berani menegakkan keadilan pendidikan tanpa pandang bulu? Mampukah mereka memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam menjamin pemerataan pendidikan bagi semua anak bangsa?***


