RUWAJURAI– Sejarah Indonesia mencatat peristiwa G30S/PKI tahun 1965 sebagai salah satu tragedi paling kelam yang pernah menimpa republik ini. Pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu bukan hanya aksi politik, tetapi pengkhianatan yang menelan korban para jenderal terbaik bangsa. Tujuh perwira tinggi Angkatan Darat gugur secara tragis, menjadi simbol kekejaman yang hingga kini masih menorehkan luka sejarah.
Sejak saat itu, PKI resmi dibubarkan dan dicap sebagai organisasi terlarang. Orde Baru kemudian menetapkan aturan keras untuk memastikan ideologi komunisme tidak lagi mendapat ruang tumbuh di Indonesia. Dukungan rakyat, TNI, dan ormas Islam kala itu menjadi pondasi kuat dalam menolak kembalinya doktrin yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Bahaya Laten Komunisme dan Kepentingan Asing
Meski telah puluhan tahun berlalu, perdebatan mengenai tragedi 1965 tetap menjadi topik hangat di ruang publik. Sebagian pihak meyakini bahwa peristiwa ini tidak lepas dari campur tangan kepentingan asing yang ingin menggoyang kepemimpinan Presiden Sukarno. Di sisi lain, ada pula yang berusaha mengaburkan fakta sejarah dengan narasi-narasi alternatif yang kerap menimbulkan kontroversi.
Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, bahaya laten komunisme tetap relevan untuk diwaspadai. Sejarah membuktikan, ideologi ini kerap hadir melalui infiltrasi halus—baik lewat gerakan sosial, akademik, hingga kebijakan politik yang perlahan-lahan dapat menggerus nilai Pancasila.
Gejolak Politik di Era Prabowo
Memasuki tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo, sejumlah gejolak politik mulai mencuat. Peristiwa yang disebut “Agustus Kelam 2025” menambah keresahan publik. Generasi muda yang berharap banyak pada visi Indonesia Emas 2045 justru merasa terganggu oleh dinamika politik yang tidak menentu. Isu terkait adanya kelompok dengan ideologi menyimpang yang coba masuk melalui jalur politik maupun birokrasi semakin mempertegas kekhawatiran masyarakat.
Fenomena ini semakin kompleks ketika beberapa tokoh yang di masa lalu dikaitkan dengan organisasi terlarang atau memiliki afiliasi politik kontroversial kini justru menempati posisi penting, baik di pemerintahan maupun perusahaan milik negara. Pertanyaan besar pun muncul: apakah bangsa ini benar-benar belajar dari sejarah, atau justru mengulang kesalahan yang sama dengan cara berbeda?
Tantangan Bagi Pemerintahan
Presiden Prabowo dihadapkan pada tantangan besar. Semangat merangkul seluruh anak bangsa memang penting, namun jangan sampai kebijakan inklusif justru menjadi celah bagi ideologi lain untuk masuk. Pemerintah perlu cermat menilai siapa saja yang diberi peran strategis, agar tidak ada ruang bagi pihak yang memiliki rekam jejak bertentangan dengan dasar negara.
Selain itu, pemerintah juga harus menjaga keseimbangan antara kepentingan politik jangka pendek dan cita-cita besar bangsa menuju Indonesia Emas. Keberpihakan pada rakyat, bukan pada kelompok atau kepentingan asing, harus menjadi pijakan utama setiap keputusan.
Pancasila Sebagai Benteng
Pancasila bukan sekadar simbol, tetapi fondasi yang menjaga persatuan bangsa. Setiap kebijakan, dari pendidikan, ekonomi, hingga politik luar negeri, harus berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Jika ideologi ini hanya dijadikan alat politik sesaat, maka dikhawatirkan bangsa akan kembali terjerumus ke dalam jurang perpecahan.
Refleksi atas G30S/PKI seharusnya tidak hanya berhenti pada seremoni tahunan atau pemutaran film dokumenter. Lebih dari itu, peristiwa ini harus menjadi pengingat nyata bahwa pengkhianatan terhadap negara bisa datang kapan saja, bahkan dari dalam tubuh bangsa sendiri.
Pemerintahan Prabowo memiliki tanggung jawab historis: menjaga agar tragedi serupa tidak terulang, memastikan Pancasila tetap menjadi bintang penuntun, dan merangkul rakyat tanpa mengorbankan jati diri bangsa. Sejarah mengajarkan, bangsa yang melupakan masa lalunya akan berisiko mengulang kesalahan yang sama.***


