RUWA JURAI – Polemik Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta yang disebut ilegal bernama Siger kembali mencuat ke permukaan. Skandal yang bermula dari kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung di era Wali Kota Eva Dwiana itu kini menyeret nama Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal (RMD), ke dalam pusaran kritik tajam. Meskipun laporan terkait keberadaan sekolah ini telah dilayangkan ke aparat penegak hukum serta unit perlindungan anak, hingga kini kasusnya belum juga menemukan titik terang.
Sekolah Siger disebut-sebut sebagai proyek pendidikan yang berdiri tanpa izin operasional resmi dari Kementerian Pendidikan maupun Dinas Pendidikan Provinsi. Ironisnya, meskipun menuai kritik dari berbagai kalangan, kebijakan untuk mendukung keberadaan sekolah tersebut justru dianggap tetap mendapat restu dari pihak pemerintah daerah, termasuk Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal.
Kritik terhadap RMD pun datang bertubi-tubi dari masyarakat dan para praktisi pendidikan. Seorang kepala sekolah swasta bahkan mengaku menyesal telah mendukung Rahmat Mirzani Djausal dalam pemilihan gubernur 2024. Ia menyebut bahwa kebijakan RMD tidak berpihak pada keberlangsungan sekolah-sekolah swasta yang kini banyak kesulitan bertahan akibat menurunnya jumlah siswa.
“Saya menyesal dulu ikut kampanyekan beliau. Harusnya Gubernur memperhatikan sekolah swasta, bukan malah membiarkan sekolah ilegal berdiri tanpa izin dan menyaingi yang legal,” ujarnya dengan nada kecewa.
Selain itu, organisasi masyarakat Ladam ikut melontarkan tudingan keras kepada RMD. Mereka menyebut kebijakan gubernur dalam kasus ini sebagai “tangan besi” yang melenyapkan empati dan rasa keadilan bagi pelaku pendidikan swasta.
“Ini parah! Kok gubernur mendukung kebijakan yang jelas-jelas melanggar hukum? Sebagai pemimpin provinsi dan juga tokoh politik berpengalaman, seharusnya RMD tahu mana yang benar dan mana yang menabrak aturan,” tegas Pangdam Misrul, salah satu tokoh masyarakat, pada Rabu (13/8/2025).
Ia menambahkan, banyak sekolah swasta di Lampung yang kini gulung tikar karena minimnya dukungan dari pemerintah. Sementara itu, proyek sekolah Siger justru mendapat dukungan, bahkan di tengah protes keras dari berbagai pihak. “Ini aneh. SMA dan SMK swasta banyak tutup, tapi pemerintah diam saja. Jangan-jangan ada kepentingan di balik dukungan terhadap sekolah ilegal ini,” ujarnya dengan nada curiga.
Sementara itu, praktisi pendidikan M. Arief Mulyadin turut menyoroti lemahnya ketegasan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dalam menjalankan amanat sumpah jabatannya. Ia menduga bahwa sikap diam gubernur terhadap kebijakan Wali Kota Bandar Lampung bukan sekadar bentuk kehati-hatian, melainkan indikasi adanya komunikasi politik dan kepentingan bersama.
“Kalau beliau mau tegas, seharusnya bisa menghentikan langkah yang jelas-jelas menyalahi hukum. Apalagi posisi RMD sebagai Gubernur memungkinkan dirinya menegur langsung Wali Kota. Tapi faktanya, beliau justru diam dan seperti membiarkan,” kata Arief.
Ia juga menyinggung soal partai politik yang menaungi keduanya, yakni Gerindra. Menurut Arief, semestinya kesamaan partai bisa memudahkan komunikasi dan penyelesaian masalah tanpa harus menimbulkan polemik panjang. “Kalau sampai dibiarkan, berarti memang ada kepentingan yang lebih besar di balik ini semua. Jangan-jangan benar, sekolah Siger ini dijadikan alat politik atau proyek tertentu,” tambahnya.
Publik pun menilai wajar jika kini sorotan tertuju kepada Gubernur Lampung. Sebab, sesuai dengan peraturan, pengawasan dan pembinaan sekolah menengah berada di bawah tanggung jawab pemerintah provinsi. Dengan demikian, setiap bentuk pelanggaran, termasuk pendirian sekolah tanpa izin, seharusnya mendapat tindakan tegas dari gubernur sebagai kepala daerah.
Kasus Sekolah Siger menjadi cermin buram bagi dunia pendidikan di Lampung. Banyak pihak kini menunggu langkah konkret dari Pemerintah Provinsi Lampung untuk menegakkan aturan, memulihkan kepercayaan publik, dan memastikan tidak ada lagi sekolah ilegal yang beroperasi tanpa izin di Bumi Ruwa Jurai.***


