RUWA JURAI – Polemik SMA swasta Siger yang telah menerima sekitar 90 murid kini menjadi sorotan tajam publik. Sekolah ini beroperasi tanpa izin resmi, seolah menantang kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung di bawah kepemimpinan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal (RMD).
Berdasarkan Perda Provinsi Lampung Nomor 9 Tahun 2016, pengelolaan pendidikan tingkat SMA/SMK berada di bawah kontrol dan pembinaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. Namun kenyataannya, SMA Siger yang digagas oleh Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana berjalan sendiri, tanpa koordinasi dengan pemerintah provinsi.
Dalam unggahan Instagram kader muda Nasdem, M. Nikki Saputra—anggota Komisi 4 DPRD Kota Bandar Lampung—terlihat video peresmian sekolah sekitar Juli 2025. Anehnya, tidak ada satu pun perwakilan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, baik Kabid SMA maupun sekretaris dinas, yang hadir. Bahkan DPRD Provinsi Lampung juga absen.
Yang lebih mengkhawatirkan, hingga saat ini Yayasan Siger Prakarsa Bunda belum memiliki akta notaris resmi sebagai pendiri sekolah. Meski begitu, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan di SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Bandar Lampung, alias menumpang aset pemerintah kota. Hal ini membuka dugaan penyalahgunaan wewenang dan ketidaklayakan sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan formal.
Danny Waluyo Jati, pegawai pelayanan perizinan dari Disdikbud Provinsi Lampung, menegaskan bahwa syarat minimal untuk mengurus izin sekolah adalah memiliki aset berupa tanah dan bangunan sendiri. SMA Siger jelas belum memenuhi kriteria ini, sehingga secara hukum sekolah dianggap ilegal dan berisiko bagi peserta didik, termasuk ketidakpastian ijazah resmi.
Publik bertanya-tanya, mengapa Pemerintah Provinsi Lampung seakan kehilangan magis? Padahal, Kepala Dinas Pendidikan Thomas Amirico sebelumnya bisa turun cepat ke Pesawaran untuk menangani kasus anak korban bullying atas arahan Gubernur RMD. Mengapa kasus SMA Siger, yang jelas-jelas beroperasi tanpa izin, justru dibiarkan berjalan?
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius: hak peserta didik terancam, aset negara disalahgunakan, dan tata kelola pendidikan formal di Bandar Lampung tampak kacau. Banyak pihak menilai, pemerintah kota dan yayasan harus segera dipanggil dan diminta pertanggungjawaban agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi sistem pendidikan di Provinsi Lampung.***


