RUWAJURAI NEWS – Wayang kulit bukan sekadar tontonan tradisional, melainkan warisan budaya adiluhung yang merekam perjalanan panjang peradaban Nusantara. Kesenian ini telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia, menandakan nilai universalnya bagi umat manusia.
Awalnya, wayang kulit berkembang sebagai ritual keagamaan pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Pertunjukan wayang berfungsi sebagai media penyebaran ajaran moral, spiritual, dan filosofi hidup. Cerita yang diangkat banyak terinspirasi dari epos besar seperti Mahabharata dan Ramayana.
Seiring masuknya Islam di Jawa, wayang kulit mengalami akulturasi. Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, memanfaatkan wayang sebagai media dakwah. Tokoh dan lakon wayang pun diperkaya dengan nilai-nilai lokal serta ajaran Islam, menjadikan wayang lebih dekat dengan masyarakat.
Di era modern, wayang kulit bertransformasi menjadi bentuk hiburan yang bisa dinikmati lintas generasi. Pementasan wayang semalam suntuk masih menjadi tradisi, namun kini juga hadir dalam versi singkat, bahkan digital. Dalang-dalang muda memanfaatkan teknologi audio visual, lampu sorot, hingga animasi untuk menarik penonton milenial.
Meski menghadapi tantangan dari arus hiburan populer, wayang kulit tetap bertahan sebagai simbol identitas dan kebijaksanaan budaya Jawa. Upaya pelestarian melalui festival, pendidikan seni, hingga kolaborasi internasional terus dilakukan agar wayang tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tetapi juga inspirasi di masa depan.***


